Berbagai macam Pandangan Dunia. |
Setiap hari kita menyaksikan banyak sekali peristiwa yang terjadi baik pada diri kita atau bahkan pada orang lain. Kita bukan hanya menyaksikan, kita juga berusaha memahaminya. Ketika beberapa tahun lalu terjadi tsunami di Aceh, kita bertanya mengapa? Ketika banyak pesawat jatuh, kapal terbakar, kereta jungkir balik dan sejuta peristiwa lain di negeri ini, kita bingung dan mencari penjelasan. Untuk membantu kita memahami kejadian-kejadian itu, kita berusaha memberinya makna. Pemberian makna sangat tergantung pada pandangan dunia kita.
Apa yang disebut dengan pandanga dunia, World View? Secara sederhana, menurut Jalaluddin Rakhmat, pandangan dunia adalah bingkai yang kita buat untuk gambaran tentang dunia. Lewat bingkai tersebut, berbagai peristiwa di dunia diberi makna. Menurutnya, tanpa bingkai itu, berbagai macam kejadian akan tampak kacau-balau dan membingungkan. Bingkai adalah ‘skenario’ yang kita tulis untuk meletakkan setiap kejadian dalam alur cerita yang runtut.
Kejadian yang sama dapat diberi bingkai yang berbeda. Dalam bingaki kaum cendekiawan, gempa yang menggoncang Ranah Minang beberapa bulan yang lalu adalah manifestasi kasih sayang Tuhan. “Tuhan bermaksud hendak mensucikan mereka”, kata salah seorang cendekiawan Indonesia. Bagi politisi (yang gagal melulu jadi pejabat) menuding pejabat yang hidup mewah sebagai biang kerok musibah itu. Aktivis Islam, dengan wajah penuh emosi malah mengutuk (dengan prasangka) korban. Menurutnya, itu karena dosa yang telah mereka perbuat. Di berbagai tempat kajian dan mimbar, mereka mengkhotbahkan dosa-dosa korban yang mendatangkan bencana. Kita bertanya, benarkah gempa itu disebabkan oleh dosa-dosa rakyat Minang? Saya tidak tahu.
Kita boleh saja berpendapat. Tapi pendapat kita sedapat mungkin tidak menambah sakit hati orang banyak apalagi yang ditimpa musibah. Pandangan dunia kita harus didasarkan pada logika Al-Quran bukan pada prasangka. Atau paling tidak, sedikit lebih ilmiah. Pernyataan bahwa sebab gempa adalah dosa dan kejahatan korban sendiri, merupakan bentuk intelectual cul desacs (kebuntuan berpikir) yang disebut dengan blaming the victims,(menyalahkan korban). Seperti kata pepatah, ‘sudah jatuh ditimpa tangga pula’.
Menyalahkan korban adalah tindakan yang tidak manusiawi. Menggunakan logika blaming the victims seperti ini memang terasa cukup nyaman untuk mengurangi rasa bersalah dan rasa gelisah. Pendeknya, salahkan korban dan lepaskan tanggung jawab. “Perumpamaan orang-orang beriman adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubunnya sakit, anggota tubuh yang lain ikut merasakan sakit”, kata Rasulullah SAW. Berdasarkan definisi Rasulullah SAW di atas, maka kita tidak termasuk orang beriman lagi. Dalam master piece-nya, Gulistân (Taman Bunga Mawar), Sa’di menggubahnya dengan indah dalam bentuk puisi :
Di negeri kita, hampir semua pejabat menjadi rentenir yang menyedot habis kekayaan alam. Dan alam menjawab kita dengan gempa. Pengusaha dan para pemodal bekerjasama mendirikan industri di atas petak-petak sawah petani miskin tanpa rasa iba dan alam ‘meludahi’ kita dengan semburan lumpur yang tak dapat dikendalikan. Al-Quran mengingatkan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30]:41).
Kata ‘an nas’, manusia pada 2 ayat ini merujuk kepada manusia secara umum bukan korban akibat kerusakan alam. Jika setiap korban keganasan alam adalah pelaku kerusakan, lalu bagaimana dengan para pejabat yang di tubuhnya bergelimang darah kaum miskin? Bagaimana pula dengan para pengusaha yang memeras keringat dan air mata para pemilik tanah? Dan bagimana nasib pemodal yang industrinya menenggelamkan satu kecamatan di negeri ini? Jangankan menjadi korban kemarahan alam, tergores pun tidak. Bahkan malah dilantik menjadi menteri dinegeri ini.
Dalam ushul fiqih, ada kaidah yang menyatakan bahwa kita tidak boleh mengkhususkan makna umum dalam al-Quran jika tidak ada keterangan yang menyimpangkannya (korinahnya). Musibah adalah masalah sosial. Letakkan masalah sosial sebagai masalah sosial dan pandanglah secara sosial. Tidak mungkin memecahkan masalah sosial dengan mengebirinya menjadi suatu masalah idividu. Karena itu, bukan tidak mungkin kita merupakan salah satu penyebab kerusakan yang menimpa negeri ini. Termasuk melakukan kerusakan adalah mengkhsuskan makna umum dalam al-Quran dengan prasangka. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.(QS. Al-Baqarah [2]:12).
Apa yang disebut dengan pandanga dunia, World View? Secara sederhana, menurut Jalaluddin Rakhmat, pandangan dunia adalah bingkai yang kita buat untuk gambaran tentang dunia. Lewat bingkai tersebut, berbagai peristiwa di dunia diberi makna. Menurutnya, tanpa bingkai itu, berbagai macam kejadian akan tampak kacau-balau dan membingungkan. Bingkai adalah ‘skenario’ yang kita tulis untuk meletakkan setiap kejadian dalam alur cerita yang runtut.
Kejadian yang sama dapat diberi bingkai yang berbeda. Dalam bingaki kaum cendekiawan, gempa yang menggoncang Ranah Minang beberapa bulan yang lalu adalah manifestasi kasih sayang Tuhan. “Tuhan bermaksud hendak mensucikan mereka”, kata salah seorang cendekiawan Indonesia. Bagi politisi (yang gagal melulu jadi pejabat) menuding pejabat yang hidup mewah sebagai biang kerok musibah itu. Aktivis Islam, dengan wajah penuh emosi malah mengutuk (dengan prasangka) korban. Menurutnya, itu karena dosa yang telah mereka perbuat. Di berbagai tempat kajian dan mimbar, mereka mengkhotbahkan dosa-dosa korban yang mendatangkan bencana. Kita bertanya, benarkah gempa itu disebabkan oleh dosa-dosa rakyat Minang? Saya tidak tahu.
Kita boleh saja berpendapat. Tapi pendapat kita sedapat mungkin tidak menambah sakit hati orang banyak apalagi yang ditimpa musibah. Pandangan dunia kita harus didasarkan pada logika Al-Quran bukan pada prasangka. Atau paling tidak, sedikit lebih ilmiah. Pernyataan bahwa sebab gempa adalah dosa dan kejahatan korban sendiri, merupakan bentuk intelectual cul desacs (kebuntuan berpikir) yang disebut dengan blaming the victims,(menyalahkan korban). Seperti kata pepatah, ‘sudah jatuh ditimpa tangga pula’.
"Sudah jatuh tertimpa tangga pula". |
Bani Adam semuanya anggota badan yang samaMenurut Carl Gustav Jung, antara kita dengan orang lain ada keterhubungan satu sama lain. Kepada Freud, Carl Jung mengemukakan teori Synchronicity: An Acausal Connecting Principle. Menurutnya, hukum inilah yang menghubungkan kita dengan semua mahluk di alam semesta. Dalam hubungan itu, kita semua diikat oleh prinsip ‘kesatuan’ yang dia sebut Collective Unconsciousness. Ketaksadaran Kolektif. Apa pun yang kita perbuat, akibatnya akan kembali kepada diri kita sendiri. Karena itu, menurut Jung, semua perbuatan kita dapat mempengaruhi, mengendalikan bahkan megubah keadaan lingkungan disekitar kita yang pada akhirnya kita sendiri yang akan menanggungnya. Buanglah sampah sembarangan, alam akan menjawabmu dengan penyakit demam berdarah (DBD). Tebanglah pohon sembarangan, alam akan membalasmu dengan banjir dan tanah longsor. Kepulan asap idustri yang dibuang diangakasa, membuat alam membalas kita dengan pemanasan global (global warming). Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri. (QS. Yunus [10]:23). Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri. (QS. Al-Isra [17]:7).
Karena pada awalnya berasal dari jauhar yang sama
Jika satu anggota sakit karena kemalangan
Anggota-anggota yang lain tak akan menikmati ketenangan
Jika kamu tidak merasakan apa yang orang lain derita
Tidak pantas kamu menyebut dirimu manusia
Di negeri kita, hampir semua pejabat menjadi rentenir yang menyedot habis kekayaan alam. Dan alam menjawab kita dengan gempa. Pengusaha dan para pemodal bekerjasama mendirikan industri di atas petak-petak sawah petani miskin tanpa rasa iba dan alam ‘meludahi’ kita dengan semburan lumpur yang tak dapat dikendalikan. Al-Quran mengingatkan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30]:41).
Pejabat yang kerjanya menyalahkan korban bencana. |
Dalam ushul fiqih, ada kaidah yang menyatakan bahwa kita tidak boleh mengkhususkan makna umum dalam al-Quran jika tidak ada keterangan yang menyimpangkannya (korinahnya). Musibah adalah masalah sosial. Letakkan masalah sosial sebagai masalah sosial dan pandanglah secara sosial. Tidak mungkin memecahkan masalah sosial dengan mengebirinya menjadi suatu masalah idividu. Karena itu, bukan tidak mungkin kita merupakan salah satu penyebab kerusakan yang menimpa negeri ini. Termasuk melakukan kerusakan adalah mengkhsuskan makna umum dalam al-Quran dengan prasangka. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.(QS. Al-Baqarah [2]:12).
0 comments:
Post a Comment