Tato Ala Indonesia. |
Konon, orang Qazwin mempunyai kebiasaan mentato tubuhnya sebelum memasuki usia dewasa. Salah seorang diantara mereka datang ke tukang rajah. “Tatolah untukku seekor singa yang garang. Rasi bintangku Leo. Gambarlah segalak mungkin. Hiaskan warna biru di atasnya.” “Dimana saya harus mentato Anda?” “Rajalah pada bahuku yang bidang. Biarkan nanti wajah singa itu menyeringai garang dari sana".
Mulailah tukang tato menusukkan jarum-jarumnya. Rasa sakit mulai menjalar ke sekujur tubuhnya. Pahlawan kita menjeri kesakitan, “Kau membunuhku. Mahluk apa yang sedang kau gambar?” “Seperti pesanan Anda, saya sedang menggambar singa.” “Maksudku bagian tubuh singa yang mana?” “Saya sedang menggambar ekornya.” “Hentikan, kawan. Ekor singa itu hampir menghentikan denyut jantungku. Gambar saja singa tanpa ekor!” Tangan perajah pun mulai menari lincah di atas bahu si pemuda itu. Sesaat kemudian, pemuda itu mengerang kesakitan. “Anggota badan singa yang mana yang sedang kau gambar?” Perajah segera menghentikan tusukan jarumnya. Saya sedang menggambar telinganya.” Pemuda Qazwin berteriak, “Biarkan singa tanpa telinga. Pendekkan juga rumbai-rumbainya”.
Perajah meneruskan pekerjaannya. Dan kembali si Qazwin berteriak kesakitan. “Apa yang sedang kamu buat?” tanya pemuda Qazwin. “Saya sedang melukis perut singa,” jawab perajah. “Stop it. Hentikan. Aku ingin singa yang tidak punya perut.” Perajah tidak sabar lagi. Wajahnya meronah marah. Segera, Ia lemparkan jarum-jarumnya. “Kau memintaku ditatokan seekor singa galak yang garang tapi tak kuasa menahan rasa sakit yang mengesankan galak dan garang. Tidak pernah ada orang seperti ini. Di mana ada singa tanpa ekor, telinga dan perut? Tuhan pun tidak menciptakan singa seperti itu. Jika tidak bisa menahan sakit, bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu?”
Kisah ini saya kutip dari buku yang berjudul “The Kingdom of Joy” yang ditulis oleh Abdul Rahman Azzam. Sebuah buku mungil yang dipersembahkan untuk memperingati 800 tahun Jalaluddin Rumi. Buku ini menghimpun kisah menawan dari Matsnawi Rumi. Saya selalu terpesona (mungkin juga Anda) dengan kisah-kisah yang dituturkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya. Seperti biasa, Rumi mengakhiri ceritanya dengan nasihat. Kisah ini mengajarkan kita keharusan menerima penderitaan ketika kita harus meninggalkan ego (nafs) kita. Karena maknanya yang luas, saya senang menghubungkannya dengan peristiwa yang rada kontemporer dalam kehidupan atau yang lagi sedang hangat diperbincangkan.
Anda boleh jadi sedang ingin membeli komputer rakitan dengan spesifikasi canggih. Anda harus mengeluarkan banyak duit. Secara ekonomis, Anda menjerit. Lalu Anda akan berkata kepada penjual, “Monitor itu terlalu mahal. Buatkan komputer bagiku tanpa monitor. Hardisk itu terlalu tinggi harganya. Rakit saja komputer tanpa hardisk. Harga processor dan memori juga terlalu berat. Berikan komputer tanpa processor dan memori. Penjual akan tersenyum keheranan, “Komputer seperti apa yang harus dijual tanpa monitor, tanpa hardisk, tanpa processor dan memori?!”
Atau, mungkin Anda seorang penguasa di suatu negeri yang menginginkan penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Anda lalu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangkap setiap koruptor kecuali Anda dan keluarga. Anda memberikan kebebasan berekspresi tetapi Anda tidak tahan kritik. Anda ingin menciptakan atmosfir demokrasi tetapi pada saat yang sama Anda menginginkan setiap orang menjadi robot yang bergerak sepenuhnya berdasarkan remote control petunjuk Anda. Anda mengajarkan kearifan kepada setiap pendemo tetapi Anda tidak bijak dengan tidak memenuhi tuntutan mereka. Anda berharap agar pansus menuntaskan tindak kriminal kasus skandal century tetapi dengan wasiat (sebetulnya perintah) untuk tidak mengkriminalisasi isu. Anda ingin membungkam dan menutup mata para petinggi negara (Anda menyebutnya silaturahim, rapat atau apalah) dari segala tindak kejahatan yang dapat menghancurkan bangsa dan negara. Akhirnya, Anda mengendalikan seluruh bawahan Anda untuk tidak bertindak dan mengambil keputusan tanpa seizin atasan. Keinginan Anda sebetulnya gambar singa yang mengenaskan: tanpa kepala, tanpa telinga, tanpa perut dan tanpa ekor. Anda menduga gambar itu membuat orang takut. Padahal, orang melihatnya justru jatuh iba kepada Anda. Kepada Anda perlu diperdengarkan kembali lagu Iwan Fals, pemusik kritikus Orde Baru. Judul lagu itu, "Manusia Setengah Dewa".
Alkisah, di negeri Antah Berantah, orang-orang saling menegur dengan kata, “Lagu apa yang terbaru? Pasalnya, raja di negeri itu suka menciptakan lagu. Selama kepemimpinannya, ia sudah merilis 3 album. Di negeri itu juga semua orang suka curhat, karena rajanya tukang curhat. Singkatnya, kualitas Anda sangat ditentukan oleh yang memerintah Anda. Jika pemimpin Anda suka menyanyi ala artis, Anda semua menjadi penyanyi mirip artis. Pantas saja, band-band anak muda yang gaul menjamur. Dari Hijau daun sampai Kuburan.[]
Mulailah tukang tato menusukkan jarum-jarumnya. Rasa sakit mulai menjalar ke sekujur tubuhnya. Pahlawan kita menjeri kesakitan, “Kau membunuhku. Mahluk apa yang sedang kau gambar?” “Seperti pesanan Anda, saya sedang menggambar singa.” “Maksudku bagian tubuh singa yang mana?” “Saya sedang menggambar ekornya.” “Hentikan, kawan. Ekor singa itu hampir menghentikan denyut jantungku. Gambar saja singa tanpa ekor!” Tangan perajah pun mulai menari lincah di atas bahu si pemuda itu. Sesaat kemudian, pemuda itu mengerang kesakitan. “Anggota badan singa yang mana yang sedang kau gambar?” Perajah segera menghentikan tusukan jarumnya. Saya sedang menggambar telinganya.” Pemuda Qazwin berteriak, “Biarkan singa tanpa telinga. Pendekkan juga rumbai-rumbainya”.
Perajah meneruskan pekerjaannya. Dan kembali si Qazwin berteriak kesakitan. “Apa yang sedang kamu buat?” tanya pemuda Qazwin. “Saya sedang melukis perut singa,” jawab perajah. “Stop it. Hentikan. Aku ingin singa yang tidak punya perut.” Perajah tidak sabar lagi. Wajahnya meronah marah. Segera, Ia lemparkan jarum-jarumnya. “Kau memintaku ditatokan seekor singa galak yang garang tapi tak kuasa menahan rasa sakit yang mengesankan galak dan garang. Tidak pernah ada orang seperti ini. Di mana ada singa tanpa ekor, telinga dan perut? Tuhan pun tidak menciptakan singa seperti itu. Jika tidak bisa menahan sakit, bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu?”
Kisah ini saya kutip dari buku yang berjudul “The Kingdom of Joy” yang ditulis oleh Abdul Rahman Azzam. Sebuah buku mungil yang dipersembahkan untuk memperingati 800 tahun Jalaluddin Rumi. Buku ini menghimpun kisah menawan dari Matsnawi Rumi. Saya selalu terpesona (mungkin juga Anda) dengan kisah-kisah yang dituturkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya. Seperti biasa, Rumi mengakhiri ceritanya dengan nasihat. Kisah ini mengajarkan kita keharusan menerima penderitaan ketika kita harus meninggalkan ego (nafs) kita. Karena maknanya yang luas, saya senang menghubungkannya dengan peristiwa yang rada kontemporer dalam kehidupan atau yang lagi sedang hangat diperbincangkan.
Anda boleh jadi sedang ingin membeli komputer rakitan dengan spesifikasi canggih. Anda harus mengeluarkan banyak duit. Secara ekonomis, Anda menjerit. Lalu Anda akan berkata kepada penjual, “Monitor itu terlalu mahal. Buatkan komputer bagiku tanpa monitor. Hardisk itu terlalu tinggi harganya. Rakit saja komputer tanpa hardisk. Harga processor dan memori juga terlalu berat. Berikan komputer tanpa processor dan memori. Penjual akan tersenyum keheranan, “Komputer seperti apa yang harus dijual tanpa monitor, tanpa hardisk, tanpa processor dan memori?!”
Atau, mungkin Anda seorang penguasa di suatu negeri yang menginginkan penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Anda lalu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangkap setiap koruptor kecuali Anda dan keluarga. Anda memberikan kebebasan berekspresi tetapi Anda tidak tahan kritik. Anda ingin menciptakan atmosfir demokrasi tetapi pada saat yang sama Anda menginginkan setiap orang menjadi robot yang bergerak sepenuhnya berdasarkan remote control petunjuk Anda. Anda mengajarkan kearifan kepada setiap pendemo tetapi Anda tidak bijak dengan tidak memenuhi tuntutan mereka. Anda berharap agar pansus menuntaskan tindak kriminal kasus skandal century tetapi dengan wasiat (sebetulnya perintah) untuk tidak mengkriminalisasi isu. Anda ingin membungkam dan menutup mata para petinggi negara (Anda menyebutnya silaturahim, rapat atau apalah) dari segala tindak kejahatan yang dapat menghancurkan bangsa dan negara. Akhirnya, Anda mengendalikan seluruh bawahan Anda untuk tidak bertindak dan mengambil keputusan tanpa seizin atasan. Keinginan Anda sebetulnya gambar singa yang mengenaskan: tanpa kepala, tanpa telinga, tanpa perut dan tanpa ekor. Anda menduga gambar itu membuat orang takut. Padahal, orang melihatnya justru jatuh iba kepada Anda. Kepada Anda perlu diperdengarkan kembali lagu Iwan Fals, pemusik kritikus Orde Baru. Judul lagu itu, "Manusia Setengah Dewa".
Urus saja moralmuKiranya tidak berlebihan jika bait lagu di atas saya kutipkan untuk Anda atau bagi mereka yang melankolis dan sensitif. Sejarawan Frederick Adam Woods menganalisis para raja dalam sejarah Eropa. Menurutnya, kualitas raja sama dengan kualitas bangsa dan negara yang diperintahnya. Jika raja itu kuat, negaranya juga kuat. Jika rajanya lemah, lemah juga rakyatnya. Dalam peribahasa Arab disebutkan bahwa al-nâs ‘ala dîni mâlikih – masyarakat sesuai dengan agama rajanya.
Urus saja akhlaqmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
<>iTurunkan harga secepatnya
Biar ku angkat engkau
Menjadi Manusia Setangah Dewa
Alkisah, di negeri Antah Berantah, orang-orang saling menegur dengan kata, “Lagu apa yang terbaru? Pasalnya, raja di negeri itu suka menciptakan lagu. Selama kepemimpinannya, ia sudah merilis 3 album. Di negeri itu juga semua orang suka curhat, karena rajanya tukang curhat. Singkatnya, kualitas Anda sangat ditentukan oleh yang memerintah Anda. Jika pemimpin Anda suka menyanyi ala artis, Anda semua menjadi penyanyi mirip artis. Pantas saja, band-band anak muda yang gaul menjamur. Dari Hijau daun sampai Kuburan.[]
0 comments:
Post a Comment