Pejabat di negeri ini. |
Selain Jalaluddin Rumi, salah seorang tokoh sufi yang terkenal sering mengajarkan tasawuf lewat puisi dan cerita adalah Sa’di. Sa’di berasal dari Persia atau negeri Iran sekarang. Sejak kecil Sa’di berkelana ke berbagai negeri. Menyaksikan berbagai macam kebudayaan manusia dan peristiwa sosial, menangkap maknanya lalu dituangkannya dalam lembaran-lembaran kitab yang ia beri judul Gulistan (Taman Bunga Mawar). Seperti halnya Rumi, dalam Gulistan itu, Sa’di mengajarkan tentang kearifan lewat anekdot, syair dan puisi yang semuanya pendek-pendek. Berikut salah satu diantara ceritanya yang saya kutip dari Kang Jalal untuk Anda.
Suatu hari, ditengah hamparan padang pasir, Nabi Musa menemukan orang yang membenamkan tubuhnya yang tanpa busana di dalam gundukan pasir. Nabi Musa lalu mendekatinya. “Ya, Nabi Allah, saya ini orang yang sangat miskin. Saya tidak punya baju sama sekali untuk menutup aurat saya. Karenanya, saya benamkan tubuh ini ke pasir. Perut saya kosong, tidak berisi. Agar tidak perih, saya benamkan juga perut ini ke dalam pasir. Kepadamu aku memohon belas kasih, doakan mudah-mudahan Tuhan menolong dan melepaskan saya dari lilitan kerasnya hidup”.
Lalu Nabi Musa berdoa. Karena doa seorang Nabi, Tuhan pun mengijabahnya. Orang itu lalu diselamatkan dari gundukan pasir kemudian memperoleh keuntungan dan harta yang berlimpah.
One month later…, satu bulan kemudian, Nabi Musa berkunjung ke sebuah kota. Beliau menyaksikan kerumunan orang banyak di sekitar penjara sambil berteriak-teriak. Karena ingin tahu apa yang sedang terjadi, ia menyeruak masuk ke dalam penjara itu. Ia terkejut, karena orang yang di penjara itu ternyata orang yang ia selamatkan dari padang pasir. Lalu Nabi Musa bertanya: “Apa yang terjadi pada orang ini?”.
Seseorang dari kerumunan itu menjawab: “Orang ini pekerjaannya setiap hari mabuk-mabukan, bersenang-senang, tidak pernah bekerja. Suatu saat, dalam keadaan mabuk, dia membunuh kawannya sendiri. Kerumunan orang ini adalah massa yang marah dan ingin membalas dendam atas perbuatan orang itu.”
Nabi Musa menarik diri dari kerumunan sambil menggumamkan ayat suci al-Quran: Sekiranya Allah memberikan rezeki yang luas kepada hamba-hamba-Nya, pastilah mereka berbuat zalim (kerusakan) di bumi ini (Quran 42:27). Setelah membacakan ayat al-Quran itu, lalu Nabi Musa mengucapkan dua bait puisi Sa’di:
Seperti kisah Sa’di, tahun lalu kita menyelamatkan si miskin dipinggir jalan. Dengan pesta demokrasi, kita jauhkan darinya kemalangan. Kita berikan padanya kehidupan yang layak. Kemudian, dia memperoleh kedudukan dan harta yang berlimpah.
Dengan menggunakan bahasa film horror – one hundred days later - seratus hari kemudian.., saya berkunjung ke sebuah kota. Saya terkejut, menyaksikan banyak orang berkerumun di sepanjang jalan. Ikut dalam kerumunan itu, seekor kerbau dengan tulisan dan gambar penguasa di tubuhnya. Bersama kerbau, kerumunan itu meneriakkan yel-yel kekecewaan kepada penguasa yang ‘membunuh’ rakyatnya sendiri. Wajah mereka merah marah atas tindak kriminal yang dilakukan pemerintah – merampok uang rakyat dengan alasan menyelamatkan ‘negara’. Mereka protes atas kebijakan ‘kucing miskin’ di negeri ini yang tidak bisa menggunakan kekayaan secara baik.
Sehari selatah protes itu terjadi, pemimpin di negeri ini bereaksi. Dia menyayangkan (sebetulnya mengeluhkan) cara-cara demonstran yang tidak demokratis (sambil mngintervensi kerja pansus). Dia meminta (padahal menyerang) demonstran agar lebih santun dalam meyampaikan tuntutannya (sambil mengacuhkan tuntutan para pendemo). Rupanya, pemimpin negeri ini lebih tanggap terhadap perasaanya dari pada penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
Pemerintah lebih senang mempersoalkan ‘kerbau’ yang ikut aksi ketimbang ‘lumpur lapindo’ yang menenggelamkan satu kecamatan atau ‘skandal century’ yang merugikan negera. Untuk kedua kalinya kita kecewa, apa yang kita harapkan (das sollen) jauh berbeda dengan kenyataan (das sein). Kita mengharapkan pemimpin yang sensitif terhadap aspirasi rakyat, ternyata kita menemukan pemimpin yang sensitif terhadap aspirasi dirinya dan keluarganya.
Hukum di negeri ini tidak cukup kuat untuk menjerat pejabat korup. Aparat terlalu lemah untuk memberi sanksi dan menarik penguasa ke meja hijau. Lalu kepada siapa rakyat meminta keadilan? Kita harus meminta keadilan kepada orang ‘miskin’ yang merasa ‘kaya tidak kepada orang ‘kaya’ yang merasa ‘miskin.
Sa’di benar, kucing miskin jangan dijadikan pejabat. Sebab mereka akan menghabiskan kekayaan di negeri kita. Namun, malangnya, di Indonesia kebanyakan pejabat dulunya ‘kucing-kucing miskin’. Ketika mendapat jabatan, rakusnya bukan main. Seluruh telur burung pipit dihabiskan. Segala macam model manusia pun ikut dileyapkan. Siang hari mereka mencuri kekayaan kita. Malam harinya mereka menghisap darah kita. Salah kita sendiri mengangkat ‘kucing-kucing miskin’ menjadi penguasa!
Kalau ‘kucing miskin’ di masa Nabi Musa dipenjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, di negeri kita ‘kucing miskin’ malah memberi kuliah tetang moral. Seperti ustaz yang meminta jamaahnya hidup sederhana sementara dia hidup bergelimang harta. Pemerintah di negeri ini mengajari rakyatnya sopan santun disaat mereka merampok kekayaan negera atas nama rakyat.[]
Suatu hari, ditengah hamparan padang pasir, Nabi Musa menemukan orang yang membenamkan tubuhnya yang tanpa busana di dalam gundukan pasir. Nabi Musa lalu mendekatinya. “Ya, Nabi Allah, saya ini orang yang sangat miskin. Saya tidak punya baju sama sekali untuk menutup aurat saya. Karenanya, saya benamkan tubuh ini ke pasir. Perut saya kosong, tidak berisi. Agar tidak perih, saya benamkan juga perut ini ke dalam pasir. Kepadamu aku memohon belas kasih, doakan mudah-mudahan Tuhan menolong dan melepaskan saya dari lilitan kerasnya hidup”.
Lalu Nabi Musa berdoa. Karena doa seorang Nabi, Tuhan pun mengijabahnya. Orang itu lalu diselamatkan dari gundukan pasir kemudian memperoleh keuntungan dan harta yang berlimpah.
One month later…, satu bulan kemudian, Nabi Musa berkunjung ke sebuah kota. Beliau menyaksikan kerumunan orang banyak di sekitar penjara sambil berteriak-teriak. Karena ingin tahu apa yang sedang terjadi, ia menyeruak masuk ke dalam penjara itu. Ia terkejut, karena orang yang di penjara itu ternyata orang yang ia selamatkan dari padang pasir. Lalu Nabi Musa bertanya: “Apa yang terjadi pada orang ini?”.
Seseorang dari kerumunan itu menjawab: “Orang ini pekerjaannya setiap hari mabuk-mabukan, bersenang-senang, tidak pernah bekerja. Suatu saat, dalam keadaan mabuk, dia membunuh kawannya sendiri. Kerumunan orang ini adalah massa yang marah dan ingin membalas dendam atas perbuatan orang itu.”
Nabi Musa menarik diri dari kerumunan sambil menggumamkan ayat suci al-Quran: Sekiranya Allah memberikan rezeki yang luas kepada hamba-hamba-Nya, pastilah mereka berbuat zalim (kerusakan) di bumi ini (Quran 42:27). Setelah membacakan ayat al-Quran itu, lalu Nabi Musa mengucapkan dua bait puisi Sa’di:
Sekiranya kucing-kucing miskin kita beri sayap
Mereka akan terbang dan habiskan telur burung pipit.
Kucing yang menghabisi apa yang dianggapnya anjing. |
Dengan menggunakan bahasa film horror – one hundred days later - seratus hari kemudian.., saya berkunjung ke sebuah kota. Saya terkejut, menyaksikan banyak orang berkerumun di sepanjang jalan. Ikut dalam kerumunan itu, seekor kerbau dengan tulisan dan gambar penguasa di tubuhnya. Bersama kerbau, kerumunan itu meneriakkan yel-yel kekecewaan kepada penguasa yang ‘membunuh’ rakyatnya sendiri. Wajah mereka merah marah atas tindak kriminal yang dilakukan pemerintah – merampok uang rakyat dengan alasan menyelamatkan ‘negara’. Mereka protes atas kebijakan ‘kucing miskin’ di negeri ini yang tidak bisa menggunakan kekayaan secara baik.
Sehari selatah protes itu terjadi, pemimpin di negeri ini bereaksi. Dia menyayangkan (sebetulnya mengeluhkan) cara-cara demonstran yang tidak demokratis (sambil mngintervensi kerja pansus). Dia meminta (padahal menyerang) demonstran agar lebih santun dalam meyampaikan tuntutannya (sambil mengacuhkan tuntutan para pendemo). Rupanya, pemimpin negeri ini lebih tanggap terhadap perasaanya dari pada penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
Pemerintah lebih senang mempersoalkan ‘kerbau’ yang ikut aksi ketimbang ‘lumpur lapindo’ yang menenggelamkan satu kecamatan atau ‘skandal century’ yang merugikan negera. Untuk kedua kalinya kita kecewa, apa yang kita harapkan (das sollen) jauh berbeda dengan kenyataan (das sein). Kita mengharapkan pemimpin yang sensitif terhadap aspirasi rakyat, ternyata kita menemukan pemimpin yang sensitif terhadap aspirasi dirinya dan keluarganya.
Hukum di negeri ini tidak cukup kuat untuk menjerat pejabat korup. Aparat terlalu lemah untuk memberi sanksi dan menarik penguasa ke meja hijau. Lalu kepada siapa rakyat meminta keadilan? Kita harus meminta keadilan kepada orang ‘miskin’ yang merasa ‘kaya tidak kepada orang ‘kaya’ yang merasa ‘miskin.
Sa’di benar, kucing miskin jangan dijadikan pejabat. Sebab mereka akan menghabiskan kekayaan di negeri kita. Namun, malangnya, di Indonesia kebanyakan pejabat dulunya ‘kucing-kucing miskin’. Ketika mendapat jabatan, rakusnya bukan main. Seluruh telur burung pipit dihabiskan. Segala macam model manusia pun ikut dileyapkan. Siang hari mereka mencuri kekayaan kita. Malam harinya mereka menghisap darah kita. Salah kita sendiri mengangkat ‘kucing-kucing miskin’ menjadi penguasa!
Kalau ‘kucing miskin’ di masa Nabi Musa dipenjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, di negeri kita ‘kucing miskin’ malah memberi kuliah tetang moral. Seperti ustaz yang meminta jamaahnya hidup sederhana sementara dia hidup bergelimang harta. Pemerintah di negeri ini mengajari rakyatnya sopan santun disaat mereka merampok kekayaan negera atas nama rakyat.[]
Luar Biasa kanda,
ReplyDelete