Oase Pengetahuan untuk menghilangkan dahaga spiritual para pencari "Kebenaran".

Sekolah di Negeri Binatang

4:13 AM Posted by Almin Jawad Moerteza No comments
“Let us becoming what we are like capable of becoming.”
(Biarkanlah kami menjadi seperti apa yang dapat kami menjadi).



Syahdan, se ekor gajah baru saja menjadi penguasa di negeri binatang, segera setelah singa – penguasa sebelumnya – jatuh tahta. Saat itu juga, di aula istana yang megah, ia kumpulkan para cerdik cendekia di negeri itu. Setelah semua cerdik pandai berkumpul, ia pun berdiri. Badannya yang besar seperti menyimpan kebesaran jiwa. Wajahnya tenang, dingin seperti tak terjadi apa pun. Kerutan di dahinya seolah menggoreskan kearifan. “Saudaraku sekalian”, katanya memulai pembicaraan, “negara akan kuat jika rakyat diberi hak yang sama memperoleh pendidikan”. “Untuk itu, aku titahkan monyet sebagai menteri pendidikan”. Demikian raja mengakhiri pidato singkatnya.

A few days later – beberapa hari kemudian, monyet meresmikan sekolah inpres yang baru saja selesai dibangun. Tapi para guru kebingungan. Mata pelajar apa yang hendak diajarkan kepada siswa. Bukankah negeri itu masih bayi dan baru belajar merangkak. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menemui menteri pendidikan. Mereka ingin meminta saran dari monyet. Tanpa pikir panjang, monyet memerintahkan kaum intelektual untuk mendata seluruh kemampuan yang dimiliki binatang di negeri itu.

Kemampuan masing-masing binatang itu kemudian dijadikan sebagai mata pelajaran yang akan diajarkan di kelas. Di kelas berenang, siswa diminta untuk bisa berenang. “Mereka yang tidak bisa berenang berarti siswa bodoh”, teriak harimau – guru di kelas itu. Karena takut kepada guru dan juga tidak ingin dianggap bodoh, seluruh siswa memaksakan diri untuk bisa berenang. Kancil, kambing, ayam, kucing dan semua binatang yang tidak memiliki kemampuan berenang, berkali-kali menceburkan diri ke kolam tapi tetap saja tidak bisa berenang. Boro-boro pandai berenang, perut mereka malah membuncit karena kebanyakan minum air. Kancil yang terkenal cerdik, hari itu, tampak sangat bodoh. Ia heran, kenapa itik dan angsa bisa berenang.

Pada mata pelajaran terbang, seluruh siswa dipaksa untuk menjadi burung. Dari atas dahan, tupai meloncat di udara dan mendarat di bumi dengan luka. Monyet tidak habis pikir, kenapa ia tak kunjung bisa terbang padahal ia lihai memanjat. Kancil begitu pandai, tapi ia tidak bisa terbang. “Mungkin guru benar, kita memang bodoh”, kata si kancil. Dalam keadaan itu, mereka bingung melihat elang bisa menari lincah di udara. Di kelas memanjat dan menggali, itik, kelinci dipaksa untuk bisa memanjat seperti tupai dan monyet sedangkan elang dipaksa untuk mahir menggali.

Karena khawatir tidak naik kelas, setiap siswa menghabiskan waktu untuk memperlajari mata pelajaran yang dianggapnya sulit. Bersamaan dengan itu, hilang pula kemampuan mereka yang lain. Kini, Elang yang mahir terbang bukan saja tidak bisa menggali, tapi ia juga telah lupa bagaimana cara terbang yang baik karena waktunya dihabiskan untuk belajar menggali. Kancil yang berlari kencang tetap tidak bisa berenang, juga tidak ingat akan teknik berlari cepat dan sigap. Sedangkan tupai yang lihai memanjat tidak saja lupa cara memanjat, ia juga tetap tidak dapat terbang.

Akhirnya, di sekolah guru merendahkan mereka. Di rumah, dianggap anak yang tidak berguna. Pendeknya, setiap binatang dipaksa untuk menjadi binatang lain. Hari itu, air mata seluruh siswa jatuh menetes membasahi bumi pertiwi. Malang nian nasib siswa di negeri itu.

Kisah di atas saya ambil dari buku ‘Kecerdasan Majemuk’ yang berjudul “In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences”. Dengan harapan Thomas Armstrong memaafkan saya karena telah mengubah setting kultur kisah itu.

Seperti dalam cerita itu, di sekolah manusia, kita dipaksa untuk menjadi seperti apa yang diinginkan oleh guru (yang sebetulnya adalah tiran). Di dalam kelas, kita hanyalah budak yang pasrah dan tunduk pada perintah sang ‘Tuan’. Di suatu waktu kita adalah kancil yang dipaksa terbang dan diwaktu yang lain kita adalah elang yang dipaksa agar pandai berenang. Tupai dipaksa menjadi elang sedangkan elang dipaksa menjadi kelinci.

Di sekolah manusia, siswa memerankan sebuah peran yang tidak mereka senangi. Disekolah, siswa dilatih untuk menyenangi pelajaran yang sebenarnya bertentangan dengan naluri dan kecenderungannya. Siswa dipaksa untuk mencintai apa yang tidak dapat mereka cintai. Siswa mencintai pelajaran berlari tapi guru mencintai pelajaran memanjat. Guru tidak lagi menjadi pembimbing (guide) yang membantu siswa mengaktualkan potensi kecerdasannya. Guru menjadi alat pemaksa yang efektif untuk mendesain dan mencetak siswa sesuai dengan ambisi dan keinginannya. Tidak ada lagi ruang bagi siswa untuk tumbuh seperti apa yang ingin mereka dapat tumbuh. Mereka tumbuh dalam bayang-bayang keinginan gurunya (kalau bukan orang tuanya) yang gagal menjadi tukang panjat disaat menjadi siswa dahulu.

Karena ingin pandai (sebetulnya hanya tidak ingin dianggap bodoh) dan direndahkan orang tua dan kawan-kawannya, siswa menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk belajar mate-matika (pelajaran yang tidak diminatinya) hingga tidak ada waktu untuk belatih melukis yang menjadi kegemarannya. Walhasil, ia tidak saja tidak mengusai mate-matika tapi juga telah lupa bagaimana teknik menggambar yang baik.  Akhirnya, siswa tidak menjadi apa-apa.

Dalam dunia pendidikan, kita hanyalah robot-robot bernyawa yang dikendalikan oleh remote control ambisi orang tua dan guru yang konon katanya sebagai pendidik. Tapi, di sekolah, disamping anak-anak dipaksa menjadi diri yang lain, mereka juga diajar menjadi manusia tanpa emosi. Murid di desain menjadi manusia buas dan liar untuk tetap survive di tangah rimba raya hutan kompetisi. Menjatuhkan lawan dan menyingkirkan kawan. Seperti kata Hitler, “Hanya ada dua jalan untuk memenangkan peperangan. Kita yang melangkahi mayat musuh atau musuh yang melangkahi mayat kita”. Karena itu, pendidikan kita adalah pendidikan yang membinatangkan manusia. Mengajarkan manusia untuk mencerabut akar kemanusiaannya. Manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.

Sekiranya saja para guru di sekolah manusia itu pernah melintas di depan pintu gerbang Harvard Uniersity, mereka akan melihat tulisan untuk slogan pendidikan: “Let us becoming what we are like capable of becoming”-Biarkan kami menjadi seperti apa yang dapat kami ingin menjadi. Dengarkan nasehat Gibran yang ia gubah dalam bentuk puisi yang memesona untuk anda:

Anakmu bukanlah milikmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan itu sendiri
Mereka datang melaluimu tapi bukan darimu
Dan meski mereka bersama mu
namun mereka tidak menyertaimu
Berilah mereka cintamu, jangan pikiranmu
Sebab mereka memiliki pikirannya sendiri
Engkau dapat membangun rumah
bagi jasad mereka tapi bukan untuk jiwa mereka 
Sebab jiwa mereka menghuni
rumah masa depan yang tak dapat kau
kunjungi sekalipun dalam mimpi
Engkau dapat berupaya menjadi
seperti mereka, tapi jangan berharap
membuat mereka seperti dirimu
Sebab hidup tak berjalan ke belakang
juga tidak terperangkap di masa lalu
Engkau adalah busur untuk melesatkan
anak-anakmu sebagai panah
yang hidup ke masa depan.[]

====================================
Daftar Bacaan :


Thomas Armstrong. In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child's Multiple Intelligences. New York: Tarcher, 2000.

Ibnu Hasan Najafi dan Mohamed A. Khlfan. Pendidikan dan Psikologi Anak. Jakarta: Cahaya, 2006.

Jalaluddin Rakhmat. SQ for Kids: Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini. Bandung: Mizan, 2007.


0 comments:

Post a Comment