Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah [5]:8).
Waktu itu, di Shiffin, seorang pengikut Ali kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana harus menyebut orang-orang Islam yang memerangi Ali di seberang sana. “Apakah mereka orang-orang kafir?” tanyanya kepada Ali bin Abi Thalib. “Tidak”, jawab Ali, “kami dahulu memerangi orang kafir bersama mereka.” “Kalau begitu mereka orang-orang munafik.” “Tidak juga. Sebab, orang munafik hanya sedikit sekali berzikir.”
Ali ingin mengingatkan penanya bahwa mereka adalah orang Islam juga. Mereka shalat, berzikir, dan berdoa seperti juga Ali dan para pengikutnya. “Kalau begitu, bagaimana kita harus menyebut mereka?” “Mereka adalah saudara-saudara kita, yang berbeda paham dengan kita”, ujar Ali. Inilah Ali, pintu ilmu Nabi yang terkenal karena kefasihan bicaranya dan ketinggian ilmunya. Ucapannya menghilangkan kebingungan dan menghentikan fanatisme pengikutnya. Perkataannya menenangkan jiwa yang galau. Kearifaannya mengilhamkan kebaikan. Pada diri kebayakan orang, keahlian berkomunikasi dan kecerdasan sangat sering digunakan untuk meyebarkan kebencian dan menciptakan perpecahan dengan keraguan dan fitnah.
Di zaman Imam Ali perbedaan sudah membawa permusuhan yang berakhir dengan peperangan. Tapi perbedaan itu tidak menjadikan Imam Ali menjuluki musuh-musuhnya dengan label yang menistakan, dengan nama yang merendahkan atau dengan panggilan yang menghinakan. Ali tidak berkata buruk tentang mereka. Permusuhan itu tidak membuat Imam Ali berlaku tidak adil. Imam Ali bahkan memanggil mereka dengan panggilan mesra, “Mereka adalah saudara-saudara kita, yang berbeda paham dengan kita”. Imam Ali tidak membagi dunia dalam kerangka oposisi biner: benar dan salah, Islam dan kafir, beriman dan sesat.
Dahulu, ketika Nabi berada di Madinah, orang Yahudi bermaksud untuk membunuh Nabi. Tapi Nabi mengetahui rencananya. Rencana pembunuhan itu gagal. Dengan penuh amarah, umat muslim bergerak mengumpulkan senjata untuk mengusir semua orang Yahudi dari Madinah. Padahal yang berbuat hanya sebagian kecil orang Yahudi. Kepada Nabi turunlah ayat;
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, (QS. Al-Maidah [5]:8).
Mereka yang ingin membunuh Nabi memang layak untuk dibunuh, karena Nabi adalah representasi Islam. Nabi adalah Islam yang hidup. Dia sebagai khalifah Tuhan di bumi. Mengusik Nabi berarti menghancur-leburkan tatanan kosmik. Tapi dengarlah firman Tuhan yang digumamkan Nabi, “Janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesama membuatmu tidak berlaku adil”.
Berpuluh-puluh mil jauhnya dibagain Timur negeri Nabi. Segerombolan orang dengan wajah yang sangar mengaku umat Muhammad. Sambil teriak menyebut nama Tuhan (saya kira makian), mereka menyerbu rumah orang yang dianggap menodai ajaran Islam. Dirampas haknya sebagai manusia. Dizalimi dan dianiya hingga mati. Saya yang melihat kejadian itu tertegun. Nafasku seolah terhenti menunggu firman Tuhan untuk dibacakan kembali. Hatiku tersayat berharap ada pedang keadilan untuk menghentikan kebrutalan itu. Tapi penistaan yang dramatis itu berakhir sebelum kita berbuat apa-apa. Saya ingat sabada Nabi, “Seorang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari gangguan lidah, tangan dan perilakunya”.
Berdasarkan hadis Nabi diatas, masih mukminkah kita? Anda yang pantas menjawabnya. Pelaku kekerasan apa pun alasannya tidak dapat dibenarkan. Perbuatan itu merupakan tindakan kejahatan (criminal). Demikian juga orang yang melihat kejahatan lalu mendiamkannya. Karena antara pelaku kekerasan dan yang mendiamkannya sama-sama tidak dapat menghentikan kejahatan yang menganggu tetangganya. “Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat baik, memberi pertolongan bagi kerabat, dan melarang berbuat keji dan mungkar serta zalim” (QS. Al-Nahl [16]:90).
Perlakuan terhadap Ahmadiyah, apa pun alasannya tidak dapat diterima. Kalau pun Ahmadiyah itu kafir, bukan berarti kita harus merampas hak kemanusiaannya untuk tetap hidup sebagai manusia. Saya sendiri tidak percaya dengan apa yang dipercaya Ahmadiyah dan saya menolak bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu seorang Nabi. Namun akidah yang keliru ini tidak memberi jaminan sebagai hujjah (alasan) untuk membunuh Ahmadiyah.
Bung Karno, ketika dibuang di Ende, pernah didesas-desuskan mendirikan cabang Ahmadiyah, membantah: “Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi”, tulisnya dalam sepucuk surat di tahun 1936, “dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid”. Tapi ia menyatakan mendapatkan “banyak faedah” dari buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali dan Het Evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloedin. Majalah Ahmadiyah, Islamic Review, kata Bung Karno, “banyak memuat artikel yang bagus.” (di dalam Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir).
Bung Karno melanjutkan: “…mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa fatsal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toch pada umumnya ada mereka punya ‘features’ yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati kepada hadits, mereka punya striven Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematise, aannemelijk, making van den Islam”. (di dalam Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir).
Kita akhiri saja perbincangan ini dengan kisah dari Al-Quran: Ketika Fir’aun menlantik dirinya sebagai Tuhan (banyangkan Fir’aun mengkudeta Tuhan dari singgasana Arsy-Nya), Allah yang Agung tidak lantas membunuh Fir’aun. Allah SWT tidak menyuruh bumi untuk menelan Fir’aun atau langit runtuh menimpanya. Allah SWT bahkan memerintahkan Musa dan Harun untuk mengajak Fir’aun pada kebenaran. Allah SWT berfirman; “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha [20]:43-44). Allah SWT mengatakan bahwa perbuatan Fir’aun itu “telah melampaui batas”. Dan “melampaui batas” dalam pandangan Tuhan tidak dapat disejejarkan dengan “melampaui batas” dalam pandangan manusia. Tapi Allah pencipta langit dan bumi, melalui Musa dan Harun, masih mengajak Fir’aun dengan ajakan yang lemah lembut.[]
0 comments:
Post a Comment