Di tengah padang pasir Amargossa, California berdiri gubuk tua dan rapuh. Tak jauh dari situ ada sumur. Setiap musafir yang lewat mengambil air dari dalamnya. Tidak ada timba, tetapi ada pompa air yang sering mengering bila tidak dipakai. Pada pompa itu menempel pesan : “Ambil botol air yang aku simpan di bawah batu putih. Curahkan air pada pompa sebagai pemancing. Nanti air yang lebih banyak akan membersit keluar. Ambillah air secukupnya dan isilah kembali botol itu. Kembalikan ke tempatnya semula.” Dengan cara itu, sumur itu telah mengalirkan airnya selama hampir satu abad.
Kisah ini dituturkan oleh Kang Jalal. Ide tulisan ini juga dari beliau. Saya hanya sedikit menambahkan hikmah dan memperluasnya pada aspek yang relevan dengan kehidupan kita. Cerita ini, menurut Canfield dan Hansen, mengajarkan kepada kita hukum besi alam: Give in order to Get. Beri supaya Dapat. Anda hanya akan memperoleh apa yang Anda butuhkan, bila Anda memberi lebih dahulu. Bagi Jalaluddin Rakhmat pelajaran kedua dari kisah ini adalah ketika Anda mengambil, ingatlah musafir yang lain. Masukkan air ke botol untuk dipergunakan oleh musafir sesudah Anda. Saya menambahkan pelajaran ketiga: sebisa mungkin, rawatlah pompa dan sumurnya, agar musafir lain yang datang sepeninggal kamu dapat mempergunakannya. Ambillah air darinya sesuai kebutuhan kamu, jangan menjarahnya dengan mengeruk seluruh airnya. Memaksa pompa bekerja terus-menerus dapat mengakibatkan kerusakan fatal. Ingatlah, pompa air itu bukan milikmu, ia milik sejuta umat.
Kita semua adalah musafir yang tengah mengarungi gurun pasir dalam perjalanan sejarah peradaban bangsa. Mereka yang kita percayakan untuk merawat dan membagi secara merata air itu hanya diberikan kepada keluarga dan kelompoknya saja. Nasib baik yang digilirkan kepada mereka yang naik menjadi pemimpin ditegakkan diatas dahaga panjang yang kita derita. Mereka sudah menemukan sumur untuk melepaskan dahaganya. Sedang kita menderita kehausan berlipat ganda. Sumur kekayaan negeri ini memang berlimpah air; tetapi pompanya sudah lama aus dan sumurnya mengering. Mereka tidak saja lupa mengisi botol kecil di bawah batu putih, tapi juga semua pemimpin yang lewat sibuk mengisi perutnya dengan menyedot habis air di negeri ini.
Penguasa demi penguasa datang silih berganti. Bersama para penguasa adalah para penyamun yang berwajah wakil rakyat para perompak bertopeng pejabat and the gang. Mereka datang kehausan dan pergi kekenyangan. Tak seorang pun di antara mereka memikirkan musafir yang datang kemudian. Kini, pompa itu sudah berkarat, bahkan sudah pecah berantakan. Kita – tidak termasuk mereka yang menyimpan kantung air yang tebal- sedang menderita kehausan. Kita berontak karena kemiskinan sudah mencekik tenggorokan kita.
Apa yang harus kita lakukan? Saya setuju dengan apa yang dikatakan Ustaz Jalal. Minta mereka yang berkantong tebal memasukkan air ke pompa sumur kita. Tidak usah semuanya. Juga kepada mereka, mita anggaran perbaikan pompa dan sumur. Tidak perlu berlebih-lebihan, secukupnya saja. Percayalah, dengan memberi, mereka akan memperoleh air yang lebih banyak lagi. Jika mereka menolak, katakan bahwa kantong mereka akan mengering dengan cepat sebelum sampai ke tempat tujuan. Jika ancaman kita itu tidak menyehatkan jiwa yang keblinger apa boleh buat, ubalah kata-kata kita itu menjadi bedil dan sejata (words to be sword). Rebut air itu dari mereka. Kita sudah dipaksa untuk meneriakkan kembali pekikan Imam Khomeini, “Wahai masyarakat dunia yang tertindas, bangkit dan rebutlah hak-hakmu dari para penindas”. Yang lain menyambungkan pekikan itu dengan suara lantang dari Husein Fadhlullah, “Jika umat yang tertindas tidak memperoleh ketentraman hidup di muka bumi, maka jangan biarkan selainnya mendapatkannya, goncangkan bumi di bawah kaki mereka”. Hukum sejarah kedua mengajarkan : (Tanpa memberi, mereka akan kehilangan apa yang sudah mereka peroleh).
Dari dulu sampai sekarang, rakyat tak pernah berkuasa. Kita khawatir apa yang disabdakan Nabi itu menjadi kenyataan ditengah kehidupan kita yang memilukan. Kata Nabi, “Takutlah kamu pada bencana yang tidak saja menimpa kamu semua tapi juga para ulama ditengah-tengah kamu”. Adakah ini semua tanda dari bencana dasyat yang diramalkan Rasulullah itu? Kita tidak tahu. Tapi itu mungkin saja. Yang jelas, pompa sumur Anda sudah rusak. Anda harus mengambil sumber daya itu dengan paksa. Lewat hukum, misalnya. Atau lewat apa yang kita sebut class action. Atau apa saja. Soalnya, mereka bukan hanya menyedot air sumur. Mereka juga sedang berpesta pora meminum darah Anda.(*)
Kisah ini dituturkan oleh Kang Jalal. Ide tulisan ini juga dari beliau. Saya hanya sedikit menambahkan hikmah dan memperluasnya pada aspek yang relevan dengan kehidupan kita. Cerita ini, menurut Canfield dan Hansen, mengajarkan kepada kita hukum besi alam: Give in order to Get. Beri supaya Dapat. Anda hanya akan memperoleh apa yang Anda butuhkan, bila Anda memberi lebih dahulu. Bagi Jalaluddin Rakhmat pelajaran kedua dari kisah ini adalah ketika Anda mengambil, ingatlah musafir yang lain. Masukkan air ke botol untuk dipergunakan oleh musafir sesudah Anda. Saya menambahkan pelajaran ketiga: sebisa mungkin, rawatlah pompa dan sumurnya, agar musafir lain yang datang sepeninggal kamu dapat mempergunakannya. Ambillah air darinya sesuai kebutuhan kamu, jangan menjarahnya dengan mengeruk seluruh airnya. Memaksa pompa bekerja terus-menerus dapat mengakibatkan kerusakan fatal. Ingatlah, pompa air itu bukan milikmu, ia milik sejuta umat.
Kita semua adalah musafir yang tengah mengarungi gurun pasir dalam perjalanan sejarah peradaban bangsa. Mereka yang kita percayakan untuk merawat dan membagi secara merata air itu hanya diberikan kepada keluarga dan kelompoknya saja. Nasib baik yang digilirkan kepada mereka yang naik menjadi pemimpin ditegakkan diatas dahaga panjang yang kita derita. Mereka sudah menemukan sumur untuk melepaskan dahaganya. Sedang kita menderita kehausan berlipat ganda. Sumur kekayaan negeri ini memang berlimpah air; tetapi pompanya sudah lama aus dan sumurnya mengering. Mereka tidak saja lupa mengisi botol kecil di bawah batu putih, tapi juga semua pemimpin yang lewat sibuk mengisi perutnya dengan menyedot habis air di negeri ini.
Penguasa demi penguasa datang silih berganti. Bersama para penguasa adalah para penyamun yang berwajah wakil rakyat para perompak bertopeng pejabat and the gang. Mereka datang kehausan dan pergi kekenyangan. Tak seorang pun di antara mereka memikirkan musafir yang datang kemudian. Kini, pompa itu sudah berkarat, bahkan sudah pecah berantakan. Kita – tidak termasuk mereka yang menyimpan kantung air yang tebal- sedang menderita kehausan. Kita berontak karena kemiskinan sudah mencekik tenggorokan kita.
Apa yang harus kita lakukan? Saya setuju dengan apa yang dikatakan Ustaz Jalal. Minta mereka yang berkantong tebal memasukkan air ke pompa sumur kita. Tidak usah semuanya. Juga kepada mereka, mita anggaran perbaikan pompa dan sumur. Tidak perlu berlebih-lebihan, secukupnya saja. Percayalah, dengan memberi, mereka akan memperoleh air yang lebih banyak lagi. Jika mereka menolak, katakan bahwa kantong mereka akan mengering dengan cepat sebelum sampai ke tempat tujuan. Jika ancaman kita itu tidak menyehatkan jiwa yang keblinger apa boleh buat, ubalah kata-kata kita itu menjadi bedil dan sejata (words to be sword). Rebut air itu dari mereka. Kita sudah dipaksa untuk meneriakkan kembali pekikan Imam Khomeini, “Wahai masyarakat dunia yang tertindas, bangkit dan rebutlah hak-hakmu dari para penindas”. Yang lain menyambungkan pekikan itu dengan suara lantang dari Husein Fadhlullah, “Jika umat yang tertindas tidak memperoleh ketentraman hidup di muka bumi, maka jangan biarkan selainnya mendapatkannya, goncangkan bumi di bawah kaki mereka”. Hukum sejarah kedua mengajarkan : (Tanpa memberi, mereka akan kehilangan apa yang sudah mereka peroleh).
Dari dulu sampai sekarang, rakyat tak pernah berkuasa. Kita khawatir apa yang disabdakan Nabi itu menjadi kenyataan ditengah kehidupan kita yang memilukan. Kata Nabi, “Takutlah kamu pada bencana yang tidak saja menimpa kamu semua tapi juga para ulama ditengah-tengah kamu”. Adakah ini semua tanda dari bencana dasyat yang diramalkan Rasulullah itu? Kita tidak tahu. Tapi itu mungkin saja. Yang jelas, pompa sumur Anda sudah rusak. Anda harus mengambil sumber daya itu dengan paksa. Lewat hukum, misalnya. Atau lewat apa yang kita sebut class action. Atau apa saja. Soalnya, mereka bukan hanya menyedot air sumur. Mereka juga sedang berpesta pora meminum darah Anda.(*)
Aku suka tulisan ini :)
ReplyDelete“Telah lama mereka memerintah kita dengan sewenang-wenang,
Tetapi tiba-tiba lenyaplah kekuasaan mereka yang kuat,
Kalau saja mereka adil, mereka pasti hidup bahagia,
Tetapi mereka dengan kehancuran yang patut mereka terima,
Dan esok hari dunia mengejek mereka,
‘Inilah balasan yang setimpal; kesalahan atau nasib semata’.”
_Kisah Seribu Satu Malam
Makasih dweedy, saya juga suka puisi yang dweedy kutip, menginspirasi, menggerakan dan menghidupkan. Salam kenal dariku-Almin Jawad M.
ReplyDeleteArtikelnya sangat menggugah untuk ditelah dan dijadikan pedoman dalam keseharian kita. Makasih mas atas artikelnya and izin share ya....
ReplyDelete