Oase Pengetahuan untuk menghilangkan dahaga spiritual para pencari "Kebenaran".

Komunikasi, Cinta dan Spiritualitas I

4:53 AM Posted by Almin Jawad Moerteza No comments
“Bose Disteln stechen sehr, bose Zungen stechen mehr – Semak berduri sangat menusuk tapi kata-kata buruk jauh lebih menusuk”.


“Aku anak pemalu. Meski demikian, seperti anak-anak lain pada umumnya, aku bandel. Aku yakin ibuku juga turut merusakku. Tapi kupikir aku tidak terlalu sulit untuk diatur. Aku tidak percaya kalau kata-kata manis, memegang tangan dengan lembut, tatapan yang ramah tiadak mampu membuatku melakukan apa yang mereka inginkan dariku. Sungguh, engkau sebenarnya pemurah dan baik hati. Hanya saja tidak setiap anak punya kemampuan dan ketabahan untuk menemukan kebaikan hati di balik apa yang tampak.

Kau perlakukan aku sesuai dengan keinginanmu: dengan keras, beringas dan penuh amarah. Perilaku seperti itu tampaknya sesuai dengan pribadimu, karena kau ingin membesarkan aku layaknya dirimu yang kuat dan berani. Bagiku kau ambil semua sifat keras para tiran yang mengendalikan orang lain dengan egonya, bukan dengan akal sehat. Paling tidak itulah yang tampak bagiku”, (“Franz Kafka’s Letter to His Father”, http://www.kafka-franz.com/KAFKA-letter.htm).

Mungkin anda pernah mendengar nama besar Franz Kafka. Franz Kafka digelari sebagai “raksasa” dalam kesusastraan dunia. Karya-karya sastranya yang tidak biasa, menggabungkan yang logis dan yang ganjil, yang realistis dan yang muskil melahirkan istilah “kafkaesque”. Namun, dibalik kebesaran nama dan kesuksesan hidup yang diraihnya, ia menyembunyikan sosok yang penuh derita dan ketakutan. Kafka menjalani hidupnya dengan depresi, dan dihantui rasa bersalah yang terus menerus. Ia mencintai tanpa pernah bisa mempertahankan hubungan cinta kasih dengan orang lain dalam waktu yang lama. Ia menisbahkan komunikasi ayahnya sebagai sebab semua deritanya.

Kutipan di atas adalah potongan paragraf – yang sudah saya ringkas untuk anda – dari salah satu surat untuk ayahnya, yang tidak pernah ia kirimkan. Ia mengingatkan kita akan akibat komunikasi yang buruk. Kafka mengakhiri suratnya dengan menggumbar kebenciannya pada segala hal yang berkaitan atau berhubungan dengan ayahnya. Ia tidak suka bisnis yang dikelola ayahnya. Ia tidak tertarik dengan keberagamaan bapaknya, yang menganut agama Yahudi. Ia bahkan berusaha keras untuk hidup berbeda dengan kehidupan yang dijalani bapaknya. Dia juga menuding cara ayahnya memperlakukan dia sebagai sumber kegagalannya dalam menjalin hubungan hangat dengan orang lain.

Surat Kafka yang puitis-emosional dengan nada penuh amarah sangat bagus menggambarkan sejenis komunikasi yang oleh Dr. Jack Gibb disebut sebagai “defensive communication” – komunikasi defensif. Gibb berpendapat bahwa komunikasi defensif merupakan komunikasi yang dilakukan bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi terutama sekali untuk menunjukkan dominasi, kekuasaan, penistaan, atau serangan terhadap apa yang dianggap mengancam ego. Misalnya, ketika kita berteriak marah, “Bajingan busuk, kau!” atau “Dasar otak udang!”. Hayakawa, menyebut kata-kata itu; “snarl words” (kata erangan). Disebut erangan karena kata-kata itu tidak merujuk pada rujukan tertentu. Kata-kata itu mengungkapakan keberangan kita, kebencian, dan kejengkelan kita kepada orang di hadapan kita. Singkatnya, komunikasi defensif mengandung pesan yang menyakitkan. Messages that hurt!

Brooks dan Emmert memperluas makna  “snarl words” ini. Menurut mereka, dalam kehidupan pergaulan kita sehari-sehari sering kita menggunakan kata yang dianggap negatif oleh komunikate tanpa kita sadari. Bila dianggap negatif, kata-kata itu menimbulkan respon permusuhan seperti kalau kita menggunakan kata-kata erangan. Hal itu terjadi karena kata-kata tersebut telah memperoleh makna lain pada diri komunikate, akibat pengalaman hidupnya. Di Amerika, memanggil Negro kepada orang kulit hitam akan melukai perasaan mereka. Brooks dan Emmert menyebut kata-kata itu “hidden antagonizers” (musuh yang tersembunyi), karna menyinggung perasaan dan membangkitkan amarah kebencian orang lain tanpa kita ketahui, pada akhirnya memutuskan hubungan silaturahim.

Luka karena sayatan pedang dapat disembuhkan dengan cepat. Luka karena komunikasi defensif bisa terasa sepanjang hayat, seperti yang dialami Kafka. Peribahasa Jerman mengatakan: “Bose Disteln stechen sehr, bose Zungen stechen mehr. Semak berduri sangat menusuk tapi kata-kata buruk jauh lebih menusuk”.

0 comments:

Post a Comment