Oase Pengetahuan untuk menghilangkan dahaga spiritual para pencari "Kebenaran".

Komunikasi, Cinta dan Spiritualitas II

2:07 PM Posted by Almin Jawad Moerteza No comments
Alkisah, seorang anak membenci ayahnya begitu sangat. Ketika ayahnya jatuh sakit dan dirawat dirumah sakit, tidak sekalipun ia datang menjenguknya. Setelah ayahnya wafat, dikatakan kepadanya bahwa betapa ayahnya sangat mencintainya. Tak terasa butir-butir air mata jatuh dari pelupuk matanya menggenangi pipinya. Kisah ini, yang diceritakan Kang Jalal mengharukan saya. Anak itu rupanya sering kali disalahkan, ditegur atau ditegur dengan bahasa yang tidak mengenakan. Saya membayangkan penyesalan yang mendalam ketika ia tahu bahwa ayahnya memanggil-manggil namanya disaat-saat kritisnya. Ia tahu bahwa setiap orang tua pasti mencintai anaknya dengan kecintaan yang tulus. Hanya saja, seperti surat Kafka yang ditujukan kepada ayahnya di atas, tidak semua anak dapat menangkap sinyal kecintaan itu. Kecintaan yang tulus itu terselimuti oleh kabut tebal komunikasi defensif.

Sebagaimana terbukti pada kasus Kafka dan peneletian-penelitian lainnya dalam psikologi agama dan komunikasi, komunikasi defensif mengasingkan Kafka dari hubungan dengan sesama. Kafka hidup kesepian tanpa cinta, tanpa kasih. Anda lebih tahu bahwa cinta yang sejati tidak mungkin tumbuh dalam suasana komunikasi yang tidak sehat. Kebiasaan menggunakan komunikasi defensif membuat kita sulit mengekspresikan perasaan Cinta kita secara benar. Pada akhirnya kita tidak akan menjadi manusia. Karena kemanusiaan kita dibentuk oleh komunikasi yang manusiawi. Antropolog terkenal, Ashley Montagu (Rakhmat, 2004:2) dengan tegas menulis: “The most important agency through which the child learns to be human is communication, verbal also non verbal”.

Komunikasi defensif juga memporak porandakan keyakinan agamanya. Kepada kita, Paul Vitz melaporkan hasil pelacakannya terhadap riwayat hidup tokoh-tokoh ateis dunia. Ia menemukan bahwa hampir semuaya punya hubungan buruk dengan ayahnya. Dengan perkataan lain, kecerdasan spiritual anak dapat terhambat karena komunikasi defensif yang dilakukan oleh salah satu atau (apalagi) kedua orang tuanya, (Rakhmat, 2007:89). Sangat sukar bagi seorang anak untuk membayangkan Tuhan yang Penuh Kasih bila ia tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua yang selalu menyakiti hatinya. Boleh jadi orang tua itu mencintai anaknya, tapi komunikasi yang dipergunakannya dapat menutupi cintanya itu; dan bahkan bisa menimbulkan kesan kebencian.

Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa kata-kata tertentu adalah hidden antagonizers? Dan bagaimana kita menghindari komunikasi defensif? Tidak ada resep yang baik selain mempertajam kepekaan dan emosi kita terhadap orang lain yang kita ajak bicara. Bicaralah dengan melibatkan seluruh emosi anda. Emosi itu ternyata penting sebagai bumbu kehidupan. Kita tidak bisa menikmati kehidupan tanpa emosi. Banyak hubungan berantakan karena telah kehilangan unsur emosi. Kita sekarang hanya berbicara matter of fact saja, straight to the point. Padahal dalam kehidupan sehari-hari diperlukan komunikasi yang sangat akrab. Para ahli komunikasi keluarga menyebutnya intimate communication strategy. Budaya basa-basi ternyata bukan sekedar isapan jempol, budaya itu membuat hidup kita lebih hidup. Karena itu dalam Kitab-Nya Allah memerintahkan kita, “Maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas nan lembut”, [QS. Israa (17):28].

Banyak orang yang tidak sanggup mengekspresikan perasaan. Walaupun sepele, di Barat, misalnya ada ungkapan I love you. Itu penting. Tapi di sana, lama kelamaan I love you tidak mempunyai getaran emosional lagi, tinggal kemasan saja. Selain kata erangan, Hayakawa juga menunjukan kepada kita kata-kata eongan (purr words). Kata-kata yang dapat memupuk dan merajut kasih sayang diatara anda dan saya, (Hik, hik, hik!). Kata-kata yang kalau diucapkan akan membuat mata pendengarnya berbinar-binar. Misalnya, anda memanggil seseorang dengan berkata, Hai, yang! Singkatan dari kata “sayang”. Atau saya mengucapkan kata eongan ketika saya memandang kekasih saya sambil berkata setengah berbisik, “Kau cantik sekali hari ini, ade!” (Ngarep!). Seperti dalam Surat An-Nisa ayat 63, Allah berfirman, “Dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang berbekas pada jiwa mereka”. Atau “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut, [QS. Thaha (20):44].

Selain unsur emosi, kita juga harus mengontrol bahasa dengan memilih kata-kata yang baik saat berkomunikasi. Sebuan buku yang berjudul Language and Pursuit of Happiness (Bahasa dan Pencarian Kebahagiaan) yang ditulis oleh Chalers Brothers. Buku itu berbicara tentang kekuatan bahasa yang dapat membuat hati bahagia atau berduka. Jadi, jika ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa atau komunikasi suportif. Argyle, seorang peneliti komunikasi menyarankan agar keterampilan komunikasi ini disebarluaskan ke tengah masyarakat. “Sekarang kita tahu bahwa terampil dalam komunikasi adalah sumber kebahagian”, tegasnya. “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, [QS. Isra (17):23], demikian perintah Allah Swt.

Dunia psikoterapi, mengenal metode baru: komunikasi terapeutik (therapeutic communication). Lewat metode ini, seorang terapis mengarahkan komunikasi begitu rupa sehingga pasien dihadapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat. Komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan dirinya. Pendeknya, meluruskan jiwa orang diperoleh dengan meluruskan caranya berkomunikasinya.

Segrin, melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi interpersonal – yaitu komunikasi suportif – menimbulkan “prophylactic effect”; artinya, mereka lebih tahan akan akibat-akibat buruk krisis kehidupan. “To live, then, is to communicate. To communicate effectively is to enjoy life more fully” (Hidup berarti berkomunakasi. Berkomunikasi secara efektif berarti menikmati hidup secara lebih penuh). Saya juga menduga bahwa komunikasi suportif membuat kita lebih sehat dan lebih bahagia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, komunikasi suportif mengembangkan sikap saling menghormati, mencintai dan menerima. Allah dalam firman-Nya berkata, “Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”, [QS. An-Nisa (4):5].

Dan dengan kehidupan yang diliputi cinta kita dapat mengabdi kepada Tuhan yang Penuh Kasih secara khusyuk. Komunikasi yang melahirkan cinta dapat mengembangkan kecerdasan spiritual kita, mengangkat kita dari bumi individual ke arsy transendental melalui langit sosial.[]

0 comments:

Post a Comment