Oase Pengetahuan untuk menghilangkan dahaga spiritual para pencari "Kebenaran".

Cerdas Dengan Komunikasi

4:26 AM Posted by Almin Jawad Moerteza No comments
Musa berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,
dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,
supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. 20:25-28).



Komunikasi dengan sentuhan rasional.
Ketika Nabi membacakan ayat Allah bahwa surga lebarnya seluas langit dan bumi, seorang sahabat bertanya: “Jika demikian, di manakah letak neraka?” Nabi menjawab: “Bila malam datang, di manakah siang?” (Bukankah malam meliputi langit dan bumi?). Jawaban Nabi sekaligus menunjukkan bahwa kita boleh menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Di dalam logika atau mantiq jawaban itu disebut jawaban naqid. Jawaban yang menuntun si penanya untuk berpikir dan menemukan sendiri jawaban dari pertanyaannya. Dikisahkan juga, bahwa seseorang datang menemui nabi. Ia menceritakan orangtuanya yang bernazar haji, tapi tidak sempat memenuhi nazarnya. Ia keburu wafat. Anaknya bertanya apakah dia dapat menghajikan orangtuanya. Nabi menjawab dapat. Ketika orang itu masih belum paham, Nabi saw. mengajaknya berpikir: “Bila ayahmu memiliki utang, maukah kamu membayarkan utangnya?” Orang itu menjawab: “Tentu saja.” Utang terhadap Tuhan lebih pantas lagi untuk di bayarkan”, kata Nabi saw.

Penelitian komunikasi menunjukkan bahwa perubahan sikap lebih cepat terjadi pada imbauan (appeals) emosional. Tetapi dalam jangka lama, sentuhan rasional memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih stabil. Dengan bahasa sederhana, iman segera naik lewat sentuhan hati, tetapi perlahan-lahan iman itu turun lagi. Lewat sentuhan otak, iman meresap dan naik secara lamban tetapi pasti. Dalam jangka lama, pengaruh pendekatan rasional lebih menetap dari pada pendekatan emosiaonal.

Komunikasi Al-Quran yang menyentuh otak juga sebanyak menyentuh hati. Al-Quran menyuruh berpikir, merenungkan, mentafakuri; terdapat ayat-ayat yang secara langsung membimbing manusia menggunakan akalnya, misalnya surah An-Naml ayat 60-64. Dalam hadis, sentuhan mantiq ini dapat dilihat pada dialog Nabi dengan para sahabatnya atau bahkan musuh-musuhnya. Dalam dialognya, Nabi selalu membangkitkan rasa ingin tahu dan mengundang pertanyaan. “Tanyalah aku selama aku masih berada di tempat ini?” kata Rasulullah saw. suatu saat.

Al-Quran menyerukkan agar kita berkomunikasi dengan komunikasi yang mencerdaskan. Alquran berkata, “berkatalah kepada mereka dengan qawlan balighan” (QS. 4:63). Kata ‘balighan’ dalam bahasa Arab artinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan atau komunikasi), ‘baligh’ berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu, qawlan balighan dapat diterjemahkan sebagai komunikasi yang efektif. Dalam ushul fiqh, semua perintah Al-Quran jatuhnya wajib selama tidak ada keterangan atau kaidah yang menyimpangkannya. Al-Quran melarang kita melakukan komunikasi yang tidak efektif. Nabi Muhammad saw. berkata, “katakanlah dengan baik. Bila tidak mampu, diamlah”.

Cerdas dengan komunikasi.
Qawlan balighan, selain berarti menyesuaikan pembicaraan kita dengan pengetahuan khalayak yang kita hadapi, juga berarti menyentuh hati khalayak dan otaknya sekaligus. Dengan akal, kita mengajak mereka berpikir, menggunakan akal sehat, dan membimbing sikap kritis. Kita tunjukkan bahwa kita benar, karena secara rasional argumentasi kita harus diterima.  Al-Quran menyebutkan “fi anfusihim” – tentang diri mereka. Dalam istilah sunnah, “berbicralah kamu kepada mereka sesuai dengan kadar akal mereka”.Dengan hati, kita “bujuk” khalayak untuk mengikuti pendapat kita. Kita getarkan emosi mereka; kita sentuh keinginan dan kerinduan mereka; kita redakan kegelisahan dan kecemasan mereka. “… dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang berbekas pada jiwa mereka” (Alquran 4:63).

Saya ingin mengingatkan anda kembali kisah Imam Ali tentang kecerdasannya dalam berkomunikasi. Waktu itu, di Shiffin, seorang pengikut ‘Ali kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana harus menyebut orang-orang Islam yang memerangi ‘Ali di seberang sana. “Apakah mereka orang-orang kafir?” tanyanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib. “Tidak”, jawab ‘Ali, “kami dahulu memerangi orang kafir bersama mereka.” “Kalau begitu mereka orang-orang munafik.” “Tidak juga. Sebab, orang munafik hanya sedikit sekali berzikir.”

‘Ali ingin mengingatkan penanya bahwa mereka adalah orang Islam juga. Mereka shalat, berzikir, dan berdoa seperti juga ‘Ali dan para pengikutnya. “Kalau begitu, bagaimana kita harus menyebut mereka?” “Mereka adalah saudara-saudara kita, yang berbeda paham dengan kita”, ujar ‘Ali, pintu ilmu Nabi yang terkenal karena kefasihan bicaranya dan ketinggian ilmunya.Ucapannya menghilangkan kebingungan dan menghentikan fanatisme pengikutnya. Perkataannya menenangkan jiwa yang galau. Kearifaannya mengilhamkan kebaikan. Pada diri kebayakan orang, keahlian berkomunikasi dan kecerdasan sangat sering digunakan untuk meyebarkan kebencian dan menciptakan perpecahan dengan keraguan dan fitnah.

Sekarang ini, di mimbar bebas, muballigh berbicara dengan lidah iblis, tanpa emosi dan akal sehat karena itu tanpa cinta. Muballigh lebih sering memanipulasi emosi (negatif) jamaah, dan kurang melatih daya kritis mereka. Keberagamaan yang emosional (emotional religious) – itu pun yang negatif - memang memberikan kehangatan dan gairah, tetapi biasanya tidak tahan banting. Dalam kompetisi pemikiran, yang emosional mudah tersisih oleh yang rasional. Sayang, banyak diantara kita mencibir keberagamaan yang rasional (rational religious) dan studi kritis keagamaan. Katakanlah dengan baik, kata Nabi dahulu. Pokoknya, katakan saja walaupun pahit, teriak kita sekarang. Boleh jadi karena dalam semua aspek kehidupan, kita tidak terbiasa berpikir logis. Di antara kita, mantiq sudan menthok![]

0 comments:

Post a Comment