Oase Pengetahuan untuk menghilangkan dahaga spiritual para pencari "Kebenaran".

Maulid: Buahkan Kecintaan Kepada Nabi I

1:36 PM Posted by Almin Jawad Moerteza No comments
"Orang yang sedang jatuh cinta, ia akan sering membasahi bibirnya dengan sebutan nama kekasihnya. Menyebut nama orang yang kita cintai telah menjadi demam yang menggetarkan, telah menjadi ‘acute fever’."


Buah syafaat kecintaan kepada Al-Mustafa.
“Agama dalam bentuk apa pun dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia”, demikian kata Anselm von Feuerbach, seorang ahli hukum yang terkenal. Bagi Feuerbach, peranan agama menentukan gairah dalam setiap bidang kehidupan. Tanpa agama, manusia tidak dapat hidup sempurna. Will Durant, penulis yang tidak percaya kepada agama mana pun, dalam bukunya The Lessons of History menulis[1]: “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu”. Apa yang membuat agama dapat bertahan hidup – di tengah pasar bebas ideology yang menjamur - hingga hari ini? Untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, para peneliti agama memberikan jawaban yang berbeda-beda. Sebagian menjawab, tumbuh suburnya agama dalam masyarakat karena agama memiliki dimensi sosial dalam dirinya. Dimensi sosial adalah consequential dimensions yang memanifestasikan ajaran agama dalam kehidupan. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa agama hidup dan berkembang karena dimensi ritual-mistikal sebagai ruh yang menggerakannya. Bukan maksud tulisan ini untuk membicarakan berbagai pendapat tentang ruh yang menghidupkan agama itu. Saya hanya akan menjelaskan dimensi ritual-mistikal dalam tradisi masyarakat muslim.

Annemarie Schimmel, lewat bukunya And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety, merekam kebiasaan umat Islam di berbagai belahan bumi dan dengan yakin ia menyampaikan kepada kita bahwa melalui kecintaan kepada Muhammadlah Islam itu dapat hidup hingga abad ini. Dan kecintaan itu dieksperesikan melalui gubahan puisi dan prosa tentang Rasulullah. Dalam literatul Islam, kumpulan puisi dan prosa itu dikenal dengan istilah maulid. Jadi, maulid adalah ekspresi kecintaan umat Islam kepada Nabi SAWW dengan membacakan shalawat, sejarah dan perilaku Nabi dalam bentuk prosa dan puisi untuk mengambil berkah darinya. Menurut Schimmel, melalui tradisi maulid inilah Nabi yang mulia dikenang, dan dihadirkan di tengah-tengah masyarakat Islam, bahkan hidup dalam hati anak-anak sepanjang sejarah.

Bagi orang Islam, menghormati dan memuliakan Rasulullah adalah kewajiban utama. Diantara cara memuliakan beliau yaitu dengan mengubah syair-syair pujian untuknya. Kewajiban lainnya yaitu membiasakan membaca shalawat dan salam bagi beliau. Mengapa harus “membiasakan membaca shalawat”? Sebab, sering orang sangat sukar membaca shalawat, kecuali jika ia sudah mencintai. Seperti orang yang sedang jatuh cinta, ia akan sering membasahi bibirnya dengan sebutan nama kekasihnya. Begitu Anda jatuh cinta kepada seseorang, Anda akan sering menyebut namanya. Jadi, salah satu tanda cinta adalah menyebut nama orang yang dicintai. Dan menyebut namanya tentu saja akan berbeda dengan menyebut nama yang lain, kerena ada getaran tertentu di dalamnya. Menyebut nama orang yang kita cintai telah menjadi demam yang menggetarkan, telah menjadi ‘acute fever’. Begitu pula kecintaan kita kepada Rasulullah. Kita akan menyebut namanya berbeda dengan nama-nama lain. Ia menjadi obat bagi rindu yang diderita. Sultan Mamluk Qaitbay dari Mesir dengan indah mengambarkan Nabi SAWW sebagai penyembuh derita dalam senandung syairnya:

          Inilah kekasih Allah,
          Dokter untuk segala penyakit
          Lihat, yang mulia, satu, dan unik ini,
          Di tengah lahan penengahan![2]

Dahulu sahabat sering mengambil sesuatu yang berasal dari Rasulullah atau sesuatu yang pernah disentuh Rasulullah untuk mengambil berkah darinya. Misalnya, menyentuh mimbar yang pernah disentuh Rasulullah. Beberapa wanita yang dekat dengannya dikisahkan telah mengumpulkan keringat Nabi yang mulia untuk digunakan sebagai parfum. Para sufi meyakini, ketika Rasullullah melakukan perjalanan ke langit, ketika sedang menuju keharibaan Ilahi, beberapa tetes keringatnya jatuh ke bumi. Dan dari tetes-tetes itu muncullah bunga mawar pertama yang menguluarkan bau wangi. Masih menurut para sufi, melalui tetes-tetes keringat yang menjelma dalam wewangian mawar itu, orang yang beriman masih dapat menikmati wanginya bau tubuh Nabi. Rumi dalam syairnya bersenandung:

          Akar dan cabang bunga-bunga mawar itu
          Adalah keringat wangi Mushthafa,
          Dan dengan kekuatannya bentuk sabit bunga mawar
          Berubah menjadi bulan purnama.[3]

Puisi populer Pashto menyebutkan bahwa kelopak-kelopak bunga mawar menjadi bersemu merah karena malu ketika Rasul yang sangat tampan itu memasuki taman. Jadi warna bunga mawar itu berasal dari ketampanannya. Jami’, seorang penyair sufi, menggoreskan bait-bait sajaknya untuk Nabi:

          Mawar yang merupakan keringat wajahnya,
          Hanyalah embun yang menetes dari taman mawarnya.

Sebuah syair maulid dalam bahasa Sindh[4] menggambarkan pengaruh Rasullah terhadap wewangian bunga mawar:

          Semua bunga merekah dan berubah menjadi kuntum bunga mawar
          Ketika Nabi memasuki taman itu.

Seperti bunga mawar, hati seorang muslim akan mekar ketika menggumamkan nama Rasul. Menyebut namanya merupakan ungkapan kecintaan. Karena shalawat adalah menyenandungkan nama Nabi Al-Mushthafa, maka shalawat adalah tanda kecintaan kepada Muhammad yang mulia.

Dalam The Golden Bough: A Study in Magic and Religion, Sir James George Frazer membagi prinsip-prinsip magic menjadi dua macam. Pertama, memiliki ilmu gaib karena melakukan kontak atau hubungan langsung dengan benda yang pernah disentuh oleh orang yang berilmu gaib. Misalnya, dalam suatu masyarakat, jika orang ingin “merebut cinta” seorang wanita, diambillah sesuatu yang pernah disentuh oleh wanita itu. Frazer menyebutnya Law of Contact. Ilmu gaibnya disebut Contaginus Magic. Kedua, ilmu gaib yang diperoleh melalui hukum kesamaan, Law of Similarity. Ilmu gaibnya disebut Imitative Magic. Jika kita menginginkan sesuatu dengan kekuatan gaib, kitam menggunakan media yang mirip dengan apa yang kita inginkan. Dulu, misalnya, apabila orang menginginkan datangnya angin, ia melakukan dengan bersiul. Bersiul merupakan semiotisasi (penandaan) yang dianggap sama dengan datangnya angin. Kebiasaan itu ternyata ada hampir di seluruh bangsa di dunia. Peristiwa ini dahulu dianggap tidak ilmiah. Belakangan, melalui penelitian yang mutakhir, diketahui ternyata kejadian ini terbukti benar.

Dari sudut fisika kuantum, kejadian itu cukup masuk akal. Teorema Bell, yang diperkenalkan oleh ahli fisika John Stewart Bell pada 1964, memberikan argumentasi ilmiah tentang hal ini. Bell berpendapat bahwa sekali dua atom berhubungan dan saling mengikatkan diri, maka hubungan itu akan terus dibangun sekalipun lokasi dan posisi kedua atom itu sudah terpisah. Dengan cara tertentu sebuah atom dapat mengetahui apa yang terjadi pada atom pasangannya. Jadi, atom yang ada pada tubuh kita bukan tidak mungkin memiliki hubungan batiniah dengan Rasulullah melalui benda-benda yang telah disentuhnya. Sebagaimana Rasulullah dapat ‘berhubungan’ langsung dengan Allah tanpa perantara karena Rasul adalah cahaya yang diciptakan langsung oleh Allah Yang Maha Pencipta.

Kalau kita memerhatikan tradisi para sahabat dalam mengambil berkah dari apa saja yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah, seakan-akan magic yang ada dan tersebar diseluruh dunia ini mempunyai pembenaran, bukan saja agama tapi juga sains. Perhatikanlah bagaimana obeng yang telah bersentuhan dengan magnet, obeng itu akan berubah menjadi magnet yang dapat menarik benda besi lainnya kepadanya. Melalui tradisi maulid, kita ingin menghidupkan jiwa kita yang telah mati dengan bersalawat dan mengucapkan salam kepada baginda Rasulullah. Dan jiwa kita hanya dapat bisa hidup jika disentuh oleh ruh Muhammad yang menghidupkan. Karena itulah Allah berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau, melainkan untuk menebarkan kasih di seluruh penjuru alam semesta”, (QS. Al-Anbiya [21]:107). Dan kasih Nabi itu adalah kehidupan bagi mahluk Tuhan seluruhnya. Tanpa kasih itu, manusia dan mahluk seluruhnya tidak akan tercipta. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Sekiranya  bukan karena kecintaanKu kepadamu (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam semesta ini berserta isinya”.

Untuk itu, beberapa saat setalah Rasulullah meninggal dunia, para sahabat mendatangi kuburan beliau dan mengambil tanah untuk diusapkan ke wajah mereka, karena mereka mengetahui bahwa tanah itu bersentuhan dengan tubuh Rasulullah yang mulia. Dari kecintaan itulah, mereka mengusapkan tanah itu; dan ini bukan termasuk kemusyrikan. Ini adalah ekspresi kecintaan yang menggelora pada Nabi, karena dengan begitu iman dan tubuh mereka menjadi hidup kembali. Kalau banyak jamaah haji yang mencium hajar aswad dengan tanpa sabar, bukan berarti mereka menuhankan hajar aswad. Begitu pula dengan orang Islam yang menjenguk kuburan Rasulullah dengan linangan air mata, ketahuilah bahwa itu timbul karena kecintaan mereka terhadap beliau; tidaklah dimaksudkan untuk menuhankan Rasulullah. Janganlah kita menuduh dengan prasangka orang-orang yang meluapkan cintanya kepada Rasulullah sebagai musyrik apa lagi kafir. Janganlah kita menyatakan suatu perbuatan itu musyrik hanya karena kita belum punya pengetahuan tentang perbuatan itu. Hanya karena akal kita belum sampai pada makam itu.

Dan coba banyangkan, bagaimana orang mencintai Michael Jackson bertemu dengannya. Mereka akan meneriakkan namanya, bahkan menjerit histeris sambil menangis. Bahkan, ketika dia datang ke Singapura, banyak diantara penggemarnya yang datang ke sana adalah orang-orang yang bukan dari Singapura sendiri. Mereka menjerit dengan jeritan yang sama dalam nada serentak, Michael Jackson!

Begitu juga ketika Zinedine Zidane, salah seorang mantan kapten yang memperkuat tim sepak bola asal Perancis, atau Julia Robert datang ke Bali untuk syuting film Eat, Pray and Love, ribuan orang datang untuk melihat Julia. Mereka ingin menyentuhnya, berfoto bersamanya, paling tidak, menyentuh bekas injakan kakinya. Itu semua disebabkan oleh kerinduan seseorang untuk mencintai seseorang.

Dan bukan tidak mungkin pula bahwa yang datang adalah kaum Muslim yang sudah kehilangan kecintaan mereka terhadap Rasulullah, karena kecintaan terhadap Rasulullah sudah direkayasa untuk disingkirkan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menyebut bahwa hal itu sebagai bid’ah dan musyrik. Orang yang mengatakan bahwa mencintai Rasulullah adalah bid’ah dan musyrik bukanlah tokoh yang layak kita cintai dan bukan tokoh yang patut diberi kecintaan tulus kepadanya. Tapi, itulah yang banyak terjadi sekarang. Banyak orang Muslim sendiri yang ingin mengikis kecintaan Rasulullah dari hati orang-orang yang mencintainya.[]

(Bersambung...)


[1] Will Durant, The Lessons of History, di dalam Muthahhari, Manusia dan Agama, Mizan, 2007, h. 47
[2] Zajaczkowski, Poezje strofniczne Sultan Qansuh Gavri, di dalam Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Utusan Allah: Penghormatan Terhadap Nabi Saw Dalam Islam, Mizan, 2001, h. 129.
[3] Rumi, Diwan, no. 1348.
[4] Baloch, Maulud, di dalam Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Utusan Allah: Penghormatan Terhadap Nabi Saw Dalam Islam, Mizan, 2001, h. 55.

_____________________________________

Tulisan ini pernah diterbitkan olah buletin Mitsal edisi 35 Thn. III/Rabiul Awal 1432 H/Maret 2011

0 comments:

Post a Comment